WE.CO.ID, Surabaya - Sebanyak 265 buruh migran asal Indonesia terancam
hukuman mati di beberapa negara, di antaranya Malaysia, Arab Saudi, dan
China.
"Tidak hanya gaji dan praktik perbudakan, tapi hukuman
mati juga mengancam buruh migran kita," kata pendiri Migrant CARE dan
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Anis Hidayah, di Surabaya, Jumat
(27/12/2013).
Di hadapan ratusan caleg perempuan dalam Deklarasi
Caleg Perempuan Partai NasDem di Surabaya pada 26--27 Desember 2013, ia
menjelaskan di Malaysia terdapat 213 orang buruh migran dalam proses
hukum.
"Sebanyak 70 dari 213 kasus sudah divonis hukuman mati. Di
Arab Saudi saat ini juga terdapat sembilan kasus buruh migran kita
dengan vonis tetap hukuman mati dan 33 kasus dalam proses," katanya
pula.
Di China terdapat sembilan kasus vonis tetap hukuman mati dan 18 kasus masih dalam proses.
"Ini sangat memprihatinkan," kata Anis Hidayah.
Hingga
kini, banyak eksekusi mati yang sudah terjadi di beberapa negara
terhadap buruh migran Indonesia, di antaranya Basri Masse yang
dieksekusi mati di Malaysia.
Adapula, Karno Marzuki yang
dieksekusi di Malaysia pada 14 September 1991, Yanti Iriyanti yang
dieksekusi di Arab Saudi pada 12 Februari 2008, Darman Agustiri di Mesir
pada tahun 2010, dan Ruyati di Arab Saudi pada 18 Juni 2011.
"Apa
yang menimpa buruh migran Indonesia itu tidak lepas dari berbagai
kesalahan, seperti dokumen ilegal. Ada 101.067 buruh migran ilegal yang
mendaftarkan untuk legalisasi, tapi hanya 17.306 orang yang berhasil
mendapatkan dokumen ketenagakerjaan serta 6.700 orang yang mendapatkan
exit permit," katanya pula.
Tapi ada pula "misleading" tentang
perlindungan yang dimaknai secara parsial dan 'ad hoc', yakni penanganan
kasus yang cenderung reaktif dan terlambat, seperti pemulangan
"overstayers" dari Arab Saudi ketika didesak masyarakat dengan aksi
Rp1.000 atau tanggapan terhadap kasus Ruyati setelah ia dieksekusi mati.
"Untuk
meminimalkan atau bahkan menghentikan terjadi hal tersebut, pemda yang
daerahnya mengirimkan buruh keluar negeri hendaknya berperan aktif,"
kata dia mengingatkan.
Beberapa poin yang harus diperhatikan
pemda, antara lain wajib memberikan informasi, pelayanan dan fasilitas
kepada buruh migran Indonesia (BMI) yang mudah, murah, dan berkualitas.
Selain
itu, pemda harus membentuk pelayanan terpadu guna mempermudah pelayanan
pada BMI, memberikan fasilitas pembiayaan untuk meringankan beban BMI,
dan memberikan pendampingan atau fasilitas pembiayaan BMI yang memilih
tidak berangkat lagi.
"Sediakan sarana dan prasarana pendidikan
bagi BMI agar benar-benar menjadi BMI yang berkualitas, tapi pemerintah
pusat dan perwakilan Indonesia di luar negeri juga harus melakukan upaya
untuk mendapatkan job order dari pemberi kerja di luar negeri, lalu
para eksekutif dan legislatif harus merampungkan revisi UU TKI," katanya
lagi.
Dalam kesempatan itu, mantan anggota DPR, Maria Ulfah yang
juga pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mendorong perlu konsolidasi untuk advokasi yang "sensitive gender",
seperti meningkatkan adanya perda dan anggaran daerah yang adil gender.
Selain
itu, meningkatkan kapasitas calon anggota legislatif agar memiliki
perspektif gender yang jelas, penguatan jaringan baik di internal maupun
eksternal DPRD untuk penguatan isu-isu strategis perempuan dan anak,
membuat sistem kerja yang jelas baik di internal maupun bersama simpul
jaringan gerakan perempuan dan anak, serta mencari sumber dana tetap
dari APBN/APBD untuk advokasi itu. (ant)
Sumber Warta Ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment