Kokohnya Mafia Pemeras TKI

PRAKTIK culas memeras TKI sesungguhnya sudah lama terjadi. Borok ini kembali mencuat setelah tim Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bandara Soekarno Hatta melakukan inspeksi mendadak ke Bandara Soekarno Hatta dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.

Pemerasan disinyalir terorganisir rapi, melibatkan oknum berseragam, oknum BNP2 TKI, porter, pengelola money changer, serta calo dan preman. Sama seperti mafia, orang-orang yang terlibat sangat lihai. Praktik memalukan ini diduga berlangsung bertahun-tahun.

KPK mensinyalir, nilai uang yang mengalir ke mafia pemeras keringat tenaga kerja Indonesia (TKI) mencapai Rp300 miliar per tahun. Ini baru yang terjadi di satu titik di bandara saat mereka tiba dari rantau. Belum lagi di titik-titik lainnya sebelum keberangkatan.

Modusnya, memanfaatkan keluguan TKI. Sejak menjejakkan kakinya turun dari pesawat, TKI sudah berhadapan dengan rantai panjang mafia pemeras. Beberapa modusnya antara lain memanfaatkan rumitnya birokrasi pemulangan TKI melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Calo membantu proses pemulangan tanpa melalui shelter TKI dengan syarat bayar minimal Rp2 juta.

TKI juga digiring ke money changer yang ditunjuk, padahal nilai kurs tukar uang lebih rendah, juga digiring ke kendaraan taksi gelap bertarif mahal. Bila dijemput keluarga, tetap dikenakan biaya transportasi. Banyak lagi modus lainnya yang membuat TKI tak berdaya.

Pemerintah bukan tidak mengetahui nasib TKI yang kerap jadi perahan. Disediakannya Terminal III khusus untuk TKI yang diresmikan oleh BJ Habibie kala menjabat Presiden, bertujuan agar para pahlwan devisa itu terjamin keamanannya. Tapi pada praktiknya justru TKI mengeluh lantaran ruwetnya birokrasi, kemanan tak terjamin dan duit tetap mengalir keluar.

Pengelolaan pemulangan TKI pernah diserahkan pada Induk Koperasi Polri (Inkopol) pada tahun 2002 untuk menjamin keamanan mereka. Kala itu Inkopol yang mengelola pemulangan hingga ke kampung halaman. Tapi pada 2004, diambil alih oleh Depnakertrans dan dikelola oleh koperasi instansi itu. Nyatanya, tak ada jaminan keamanan, bahkan pemerasan kian menggila.

Kemenakertrans juga sudah membolehkan TKI pulang melalui Terminal II kedatangan tanpa harus melewati terminal penampungan. Bagi para pekerja itu, sama saja lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Di Terminal II mereka sudah ditunggu pemeras-pemeras lainnya, calo, penipu dan penjahat pembius.

Pemerasan sejatinya TKI sudah dimulai sejak proses rekrutmen di kampung halaman, di tempat penampungan sampai pemberangkatan. Mengapa mafia pemeras TKI begitu kokoh, bisa jadi karena ada yang melindungi. Mengapa pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans selaku penanggung jawab pengelolaan TKI sangat lemah, bisa jadi ada oknum yang main mata. Patut dipertanyakan, dimana tanggung jawab Kemenakertrans dan BNP2TKI.

Kita patut memberi apresiasi pada KPK dan Polri yang mulai menelusuri praktik-praktik culas tersebut. Kita berharap aparat penegak hukum tidak berhenti pada kegiatan sidak saja. Bongkar jaringan pemeras dan seret ke pengadilan. Hal yang lebih penting, publik menuntut tanggung jawab pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap TKI. ** (Opini PoskotaNews)