TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sungguh tragis kisah yang dialami Siti Nur Amalah (18). Alih-alih mendapatkan banyak uang di Jakarta, Siti justru mengalami pelecehan seksual dan kekerasan dari majikannya.
Kisah pilu itu bermula ketika Siti menerima ajakan temannya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Dengan alasan ingin membantu keuangan keluarganya, Siti menyambut ajakan itu.
Setibanya di Ibu Kota, Siti diterima oleh agen penyalur pembantu milik Yayasan Eka Karya di daerah Mangga Besar. Awalnya ia mulai bekerja di Perumahan Green Garden, Jakarta Barat. Namun, baru beberapa hari bekerja, ia sudah tidak betah dan kabur kembali ke yayasan.
Pada 19 September 2012, Siti dibawa bekerja oleh sepasang suami-istri di Jalan Jatinegara Barat, RT 11 RW 03, Jatinegara, Jakarta Timur. Di sanalah awal petaka itu terjadi. Selama empat bulan bekerja, Siti kerap disiksa oleh majikannya, antara lain karena cucian tidak bersih.
Ketika majikannya pergi, Siti akan dikurung di dalam kamar dan tidak diberi makan. Dia bahkan pernah tidak diberi makan selama tiga hari dan hanya diberi air putih untuk minum.
Di rumah tersebut, Siti tinggal bersama kedua majikannya dan tiga anak majikan, serta bapak dari majikan laki-laki. Hari demi hari dilaluinya dengan ancaman penyiksaan dari majikan. Tidak hanya itu, majikan laki-laki berinisial U dan ayah majikannya juga melecehkannya secara seksual.
Akibat perlakuan buruk itu, Siti mengalami trauma. Ia juga mengalami kebutaan permanen akibat benturan di kepalanya. Pada Desember 2013, ketika mengalami kebutaan total, Siti dipulangkan ke Yayasan Eka Karya dengan alasan sakit sehingga tidak dapat bekerja dengan baik. Siti mengatakan, majikannya berpesan agar tidak mengadukan masalah itu ke polisi.
Gaji Siti juga jauh di bawah UMR, yakni Rp. 750.000 per bulan. Itu pun masih dipotong untuk mencicil Rp 1 juta yang diberikan oleh majikannya untuk mengganti kerugian memecahkan piring.
Sampai di Yayasan Eka Surya, Siti harus menerima kenyataan bahwa uang yang diterimanya dipotong lagi sebesar Rp 800.000. Uang itu untuk biaya operasional mengembalikannya kepada keluarga di kampung.
Keluarga Siti kaget melihat kondisi tersebut. Mereka menemui mantan majikan dan yayasan yang memperkerjakan Siti. Namun, semuanya seakan lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab.
Pada 17 Juni 2013, keluarga Siti melaporkan kejadian itu ke Polres Jakarta Timur. Sayangnya, sampai saat ini penanganan perkara tersebut seakan tidak menemui kejelasan. Direktur LBH Mawar Saron John Pattiwael menyayangkan kelambatan pengusutan masalah tersebut oleh polisi.
"Perkembangan penyidikan tidak pernah diberikan, bahkan hasil visum pun tidak diketahui oleh pelapor," kata John dalam jumpa pers di Kantor LBH Mawar Saron, Sunter, Jakarta Utara, Selasa (3/12/2013).
Menurut John, selama setengah tahun belakangan ini, pelapor tidak mendapat kejelasan atas kasus tersebut. Ia meminta agar Polres Metro Jakarta Timur mempercepat penyelidikan masalah ini.
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/03/kisah-pilu-siti-di-jatinegara-disiksa-sampai-buta-gaji-dipotong-pula?fb_action_ids=551588238268259&fb_action_types=og.likes&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5B527789113983000%5D&action_type_map=%5B%22og.likes%22%5D&action_ref_map=%5B%5D
http://tki-belajar-berkarya.blogspot.com/2013/12/kisah-pilu-siti-di-jatinegara-disiksa.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ya bgtulah derita orang miskin
ReplyDelete