Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi menandatangani nota kesepahaman  (Memorandum of Undrstanding) pada Rabu (19/2). Isi nota kesepahaman itu antara lain memberikan jaminan bagi pembantu rumah tangga migran Indonesia atas hari libur, paspor tetap dipegang tenaga kerja Indonesia (TKI), gaji dibayar bulanan dan akses komunikasi dengan keluarga. Meski MoU itu merupakan langkah maju, bukan berarti sebagai upaya untuk mencabut moratorium.

“Bersamaan dengan penandatanganan MoU tersebut, pemerintah Indonesia juga dikabarkan akan mencabut moratorium penempatan PRT migran ke Arab Saudi,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah saat bertemu dengan pimpinan DPR, di komplek parlemen, Kamis (20/2).

Anis mengatakan, pada prinsipnya Migrant Care mendukung langkah perlindungan terhadap tenaga kerja. Namun, ia mengakui sulitnya mendapatkan keadilan bagi TKI karena sistem hukum Saudi yang tidak berpihak dan masih berlakunya sistem kaffalah. Sistem penempatan PRT migran Indonesia yang masih berorientasi pada bisnis sebagaimana diatur dalam UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, juga masih menjadi persoalan.

Anis menilai langkah mencabut moratorium adalah sikap yang terburu-buru. Soalnya, sepanjang moratorium berlaku, pemerintah Indonesia dirundung pekerjaan rumah untuk menyelamatkan 41 TKI yang terancam hukuman mati di Saudi, termasuk Satinah yang terancam eksekusi mati pada 3 April 2014. “Kalau pemerintah Indonesia tidak membayar diyat sebesar Rp21 miliar,” ujarnya.

Pekerjaan rumah lainnya adalah revisi sejumlah regulasi ketenagakerjaan Indonesia dan pembenahan sistem penempatan tenaga kerja yang belum dilakukan secara signifikan. Anis khawatir MoU tidak akan memberikan dampak secara sistemik terhadap perbaikan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di Saudi, bila pekerjaan rumah ini belum diselesaikan.

“Dan tetap menjauhkan mereka dari akses keadilan,” imbuhnya.

Anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka curiga penandatangan notakesepahaman dilakukan secara diam-diam. Soalnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi tak memberikan informasi kepada Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan. Pasal 27 UU No.39 Tahun 2004 menyatakan, Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing.

Sejatinya, pengiriman tenaga kerja dilakukan setelah memiliki notakesepahaman antara negara pengirim tenaga kerja dengan negara penerima. Dengan begitu, akan ada kejelasan perlindungan terhadap tenaga kerja yang bermartabat di negara asing tempat bekerja.

Menurut Rieke, pemerintah RI selama ini tak pernah memiliki perjanjian notakesepahaman dengan Saudi. Terlebih, berbagai kasus kekerasan yang berujung hukuman mati acapkali dialami TKI tanpa ada keadilan hukum. “Atas dasar itu pula semestinya pengiriman TKI ke Saudi ditutup total. Namun, desakan keras dari DPR dan berbagai kalangan pemerintah SBY hanya menyatakan moratorium, penghentian sementara pengiriman TKI ke Saudi,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan, perlu penjelasan dari Kemenakertrans mengenai hal tersebut. Ia khawatir notakesepahaman diartikan sebagai pencabutan moratorium, sehingga bukan tidak mungkin akan banyak tenaga kerja yang berbondong-bondong pergi ke Saudi.

“Oleh karena itu menurut kami memohon bantuan dari pimpinan DPR agar ketika ini memang sudah ditanda tangani pertama bukan berarti moratorium itu dicabut,” katanya.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, pencabutan seharusnya diinformasikan terlebih dahulu kepada pimpinan dan DPR secara kelembagaan. Soalnya, terbitnya kebijakan  moratorium didasari adanya desakan dari DPR kepada pemerintah. Alhasil, pada 2011 silam pemerintah mengamini desakan DPR.

“Sampai hari ini kami belum mendapatkan informasi. Sungguh sangat ajaib kalau kemudian tanpa melakukan komunikasi dengan DPR, katakanlah kalau memang benar moratorium ini dicabut,” ujarnya.

Pramono menegaskan, DPR akan melayangkan surat kepada pemerintah khususnya Kemenakertrans dan BNP2TKI, termasuk Kemenlu. Langkah itu dilakukan untuk mempertanyakan benar tidaknya pencabutan moratorium.

“Secara resmi pimpina DPR akan segera menyurati pemerinta supaya ada kejelasan,” pungkasnya.


Copas dari Hukum Online

0 comments:

Post a Comment